Senin, 04 Juni 2012

KARENA WANITA INGIN DIMENGERTI, namun BISAKAH WANITA MENGERTI PRIA JUGA?

Setelah lama absen dari menulis blog,akhirnya saya kembali lagi dengan persenjataan baru yaitu Lenovo Z470 dari orangtua saya yang prihatin dengan kondisi Acer 4520 yang saya gunakan sebelumnya... *PAMEEERRRR*
ANYWAY, terimakasih kepada babe & mami buat ini, saya akan jaga baik-baik :)
Semoga babe yang sedang opname di rumah sakit bisa lekas keluar,amiiiin....

Kali ini adalah tentang masalah percintaan, dengan tema spesifik: "KARENA WANITA INGIN DIMENGERTI, namun BISAKAH WANITA MENGERTI PRIA JUGA?"

Kita telaah kata "mengerti" terlebih dahulu. Menurut KBBI, kata mengerti berasal dari kata "erti", yang penjelasannya adalah sebagai berikut (saya copas saja):
er·ti n arti; 
meng·er·ti v (telah dapat) menangkap (memahami, tahu) apa yg dimaksud oleh sesuatu; paham: rupanya ia tidak ~ maksud perkataan itu; berkali-kali diajar, belum ~ juga; meng·er·ti·kan v menjadikan (membuat) mengerti: memang sukar ~ orang setolol dia; peng·er·ti·an n 1 gambaran atau pengetahuan tt sesuatu di dl pikiran; pemahaman: guru itu dng sabar menanamkan ~ tt bilangan di dl pikiran murid-muridnya; ia memberi ~ tt susunan masyarakat Indonesia kpd orang asing dl ~ luas2 Psi kesanggupan inteligensi untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan

sumber: http://bahasa.kemdiknas.go.id/ (cari: "erti")


Dari copas-an di atas, kita lihat kata "mengerti" dan "pengertian". Dalam kasus yang akan saya bahas, kita batasi makna dari kedua kata tersebut:
MENGERTI berarti menangkap apa yang dimaksud oleh sesuatu
PENGERTIAN berarti kesanggupan inteligensi untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan


Kedua hal ini susah untuk didapatkan dalam suatu hubungan, namun jika dapat tertanam setelah melalui jangka waktu tertentu, maka suatu pasangan akan dapat menikmati hubungannya dengan baik dan dapat meminimalisir permasalahan yang terjadi.


Beberapa orang terlahir dengan memiliki PENGERTIAN. Namun pengertian sebenarnya bisa dilatih dengan mencoba MENGERTI terlebih dahulu. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendengarkan apa yang dikatakan oleh pasangan dan menanyakan apa maksud dari perkataan tersebut supaya tidak terjadi salah persepsi. Hal ini secara garis besar disebut dengan KOMUNIKASI. KOMUNIKASI juga bisa diartikan sebagai interaksi DUA ARAH untuk mencapai tujuan atau makna dari kedua pihak.

Seringkali dalam hubungan yang lawan jenis terjadi perbedaan dalam sebuah komunikasi. Apa sajakah perbedaan tersebut? Demikian uraiannya:


P:

  1. biasanya cenderung berfokus pada fakta-fakta
  2. mengatasi masalah paling baik dengan memikirkan satu masalah pada satu waktu, biasanya dengan berpikir sendiri
  3. mendekati suatu situasi dengan keinginan kuat untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan
  4. cenderung berbicara secara langsung dan menggunakan kata-kata literal atau harafiah

W:

  1. cenderung menekankan pada perasaan di balik fakta-fakta
  2. secara umum perlu membicarakan masalah mereka dengan orang lain untuk memproses pikiran mereka
  3. kadang hanya ingin membicarakan bagaimana perasaan mereka tentang situasi yang sama
  4. cenderung berbicara secara tidak langsung

Itulah perbedaan antara pria dan wanita yang bisa kita temukan. Lalu, bagaimana kita menyiasatinya?
Saya menemukan dari link tetangga (http://wanita.sabda.org/memahami_perbedaan_pria_dan_wanita) bahwa inilah hal-hal yang harus kita lakukan:

  1. Mengerti dan menghormati perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang normal
  2. Membuang pikiran bahwa pasangan harus bertindak dengan cara yang selaras dengan cara kita. Usaha untuk mengubah pasangan dan bukannya menerima satu dengan lainnya, sering kali mengakibatkan ketidaksepakatan
  3. Mempraktikkan peraturan utama yang mengatakan, "Lakukanlah kepada pasangan seperti apa yang kamu ingin orang lakukan terhadapmu."
Mungkin buat saat ini baru ini saja yang bisa saya sampaikan, semoga ada kesempatan lain untuk menyempurnakan tulisan ini. INTINYA, yang ingin saya tekankan disini yaitu KOMUNIKASI adalah cara yang paling tepat untuk menjaga nyamannya suatu hubungan.

Semoga bermanfaat :D






Rabu, 24 November 2010

Unknown Error ...

Menjelang akhir tahun 2010 ini akhirnya ane kembali menulis blog lagi setelah vakum setahun [lebih-kurang]. Dulu ane masih sering bersama dengan Laskar Samyoeto yang merupakan gerombolan/sindikat/partai yang men-'DEWA'-kan dosen kalkulus kami tercinta di kala TPB, yang dikenal di seantero bumi dengan nama Samyoeto. Kalo boleh jujur, sampe sekarang pun ane masih belum tahu nama lengkap Pak Sammy.

Sekarang seakan Laskar Samyoeto terombang-ambing karena tak memiliki arah dan tujuan. seperti yang kita tahu, sekelompok orang dengan ambisi dan tujuan yang sama pasti akan solid dan akan berusaha bersama untuk mencapai ambisi mereka. Dulu sudah jelas bahwa ambisi kami adalah berusaha mendapat nilai lulus untuk kalkulus [kecuali temen2 yang masuk Teknik Perminyakan seperti Fadhian Aqtori, Timothy Praditia, dan Nugroho Triveda --> udah pada pinter,hahhaa]. Teringat akan janji kita dulu, kami dulu ga mau ngobrol sampai semua masuk himpunan. Dan SEHARUSNYA setelah itu kami makan2 bareng. Hmmmmm, mungkin ane inisiasi aja lah acara makan2nya. Supaya janji lekas terlaksana. Ga seru ah kalo cuma gini2 aja ~.~

Sekarang ane ada di komunitas yang namanya himpunan. Dan kegiatan utama yang ane lakukan disitu adalah: berhimpun [abstrak..]. Untuk bisa masuk ke himpunan, kami harus mengikuti kaderisasi. Secara singkat, di sana ane mengerti kepribadian banyak orang, dan tentunya dengan itu ane dapet banyak temen deket juga. Tidur bagai sarden di Basecamp angkatan tentu sangat membantu buat itu. Dan ane RINDU masa2 itu ^^


Saat ini kontribusi ane ke himpunan sedang sangat terganggu. Dikarenakan kondisi badan ane yang semakin menurun. Ane ga bisa jelasin di sini ane sakit apa. Yang pasti ane harus pulang ke Semarang buat medical check-up. Udah 1 bulan lebih kuliah-pun jadi terbengkalai. Dan singkat kata, ANE PINGIN BALIK BANDUNG!

Sekian saja, nyokap udah ngomel2 nyuruh istirahat. Selamat malam dunia :)


NB: buat laskar samyoeto, password blog kita apa sih????

Sabtu, 04 April 2009

"Lord gave it and Lord took it away" (PART I : THE WAY I GOT HER...)

Suatu hari aku berkata "Aku dapat!" namun beberapa saat kemudian aku berkata "Hilanglah sudah...". Beberapa kali aku mengalami hal ini, dan mungkin hal yang paling membuatku sedih adalah di saat aku menemukan seseorang yang bisa aku sayangi dan menyayangi aku, tiba-tiba suatu masalah datang untuk memisahkan kami berdua.

Akan aku ceritakan sebagian kisah hidupku yang menurutku sangat berharga dan benar-benar membentuk pribadiku.

Ketika aku menjadi suporter dalam sebuah pertandingan basket. Kebetulan saat itu adalah pertandingan tim basket putri SMA-ku. Karena masih menjadi siswa kelas X, aku belum berani untuk melampiaskan teriakanku untuk mendukung (dan memberikan umpatan) dalam pertandingan tersebut. Aku hanya mengikuti teriakan dan nyanyian yang dikumandangkan oleh para kakak kelas.

Aku melihat seorang pemain yang seangkatan denganku, berambut pendek dan sedikit 'chubby'. Tingginya kira-kira sebahuku. Memang sih, skillnya dalam bermain basket tidak mencolok, dan saat itu dia lebih sering berada di 'bench'.Namun entah kenapa hatiku merasakan sesuatu ketika melihatnya. Namun aku 'sedikit' mengacuhkannya. "Paling cuma perasaan sesaat," pikirku. Dan entah kenapa setelah itu aku jadi jarang melihat pertandingan basket lagi.

Semuanya berjalan, aku melewati hari-hari di sekolah seperti biasa. Aku menikmati masa kelas X seperti biasa. Aku bersenang-senang bersama teman sekelasku, dan sempat juga bekerjasama untuk mengerjakan 'Movie Class' untuk penilaian pelajaran Bahasa Indonesia. Kebetulan aku menjadi asisten sutradara bersama Stella Purnama Chandra atau yang biasa dipanggil Stebi (Stella Babi). Sutradara yang memimpin proyek kami adalah seseorang yang aku kagumi kepribadiannya. Namanya Bob Desmon. Banyak sekali kendala yang kami dapatkan, seperti: pemain utama yang tiba-tiba sakit dan harus digantikan dengan orang lain dengan cara mengganti sebagian skenario (kalau ini yang paling pinter si Vera Arindita buat ngubah naskah), kekurangan pemain sehingga ada yang harus merangkap peran, baterai 'handycam' yang cepat habis, dan juga deadline yang harus dipenuhi. Namun akhirnya semua bisa kami selesaikan dengan bantuan dari teman-teman sekelas. Dan film kami - GGL (Gagal Lagi, Gagal Lagi) - meraih penghargaan terbanyak (dari guru Bahasa Indonesia kami tentunya) setelah dipentaskan dan ditonton bersama di aula SMA kami.

Sempat juga aku menjadi relawan dalam bencana alam gempa di Jogja saat akhir kelas X. Tim yang dikirim bersamaku adalah Bob Desmon, Alvin Budiono, Nicolas Priyo, Jason Widagdo. Di sana kami membantu untuk membersihkan puing-puing rumah Pamong kami saat itu - Rm. Mintoro. Sepulang dari sana punggung kami terbakar karena tidak pernah menggunakan kaos untuk bekerja di siang hari. Alhasil, kami harus tidur tengkurap sampai rasa sakit itu hilang.

Akupun naik ke kelas XI. Dan benar-benar tak kusangka kalau aku akan sekelas dengannya - sang pemain basket yang bertubuh 'chubby'. Sebut saja H. Aku juga bertemu teman lamaku saat kelas 2 SMP, yaitu si I. Aku tak tahu kenapa. Tapi rasanya hatiku mendorong untuk lebih dekat pada H. Aku baru menyadari kalau apa yang kurasakan dulu tampaknya adalah 'Lop et de firs sait' (terjemahan: cinta pada pandangan pertama).

Aku pun melanjutkan persahabatanku dengan I. Cowok itu sangat lucu. Polahnya sedikit kekanak-kanakan, namun tetap dia adalah orang yang menyenangkan. Beberapa kali dia menginap di rumahku dan kami main game bersama (padahal rumahku kira-kira 20km dari sekolah kami).

Dan akhirnya hal itu terungkap. I mengungkapkan padaku kalau dia juga menyukai H. Spontan saja ini membuatku terkejut. Hatikupun bergolak. Dan pada saat itu akupun memutuskan untuk tidak mengejar H. Aku relakan saja dia buat bersama I. Saat itu I selalu curhat padaku tentang caranya mendekati si H. Sempat juga I bercerita tentang usahanya memberikan hadiah tepat saat H berulang tahun, yaitu sekitar pukul 00.00. Namun ternyata respect dari H kurang baik (tampaknya hampir sama dengan kisah si Britto yang mengantarkan kue ulang tahun buat pacarnya di Jatinangor dengan keadaan hujan deras, tanpa jas hujan, serta ditemani beberapa iblis yang selalu menghantuinya). Tentu saja hatiku masih tidak bisa melupakan H, namun aku tetap mendukung I untuk bisa bersama H, karena aku lebih lama kenal I daripada H. I sering bercerita tentang H, dan aku juga jadi tahu seluk-beluk diri H dari ceritanya itu.

Suatu ketika, HPku bergetar - sebuah SMS tiba di inbox-ku. Sepotong kalimat untuk berkenalan muncul di layar HPku. Namun aku menyadari bahwa sang pengirim adalah si H (aku lupa kenapa aku bisa menyadarinya, apakah aku sudah menyimpan nomornya atau I yang memberitahuku). Sampai saat itu aku dan H tidak pernah ber-SMS sama sekali. Dan kami pun mulai dekat. Aku memberitahu I bahwa H mengirimiku SMS. Namun aku tetap mengurungkan niatku untuk menjadi pacar H, sungguh berat perasaanku saat itu.

Lalu semuanya berjalan. Sampai suatu ketika saat aku sedang berada di Malang bersama kakakku pada bulan Desember akhir (aku masih ingat jelas), ada SMS yang masuk ke HPku. Ternyata adalah SMS dari I. Dan inti SMSnya adalah seperti ini: "Cip, H nggak suka ma aku, tampaknya dia suka ma kamu. Kamu aja deh yang ma dia". Aku benar-benar bingung. Hatiku begitu senang, namun juga tak tega. Dan aku rasa ini adalah sebuah 'lampu hijau' buatku. Aku pun mulai mendekati H.

Mulai dari saat aku mendekati H, suasana kelas sedikit berbeda. Cewek-cewek sering membicarakan bahwa aku 'menelikung' H dari I (entah itu cuma perasaanku atau emang benar-benar terjadi). Namun aku mengacuhkan itu. Aku hanya menikmati kedekatanku dengannya.

Suatu ketika, aku mendapat dorongan dari seseorang (yang tak bisa kusebutkan namanya karena AKU YAKIN dia tak akan mengakui hal ini) untuk menembak H hari itu juga. Padahal aku sama sekali belum ada persiapan, aku hanya berbekal rasa cinta pada H. Dan akhirnya aku mengatakannya di luar kelas saat pulang sekolah (serta diintip oleh beberapa teman dari kejauhan). Dan setelah itu dia tampak bingung (mungkin karena persiapanlu yang kurang dan cara menembakku yang 'aneh' - benar-benar aneh, aku malu :P). Dan diapun belum mau menjawab 'tembakan'ku itu. Beberapa hari berlalu dan aku terus menanti jawabannya (beberapa temen juga mengalami hal ini - DAMN YOU GIRLS !!! :P). Dan akhirnya aku tak sabar dan meminta jawaban darinya sesegera mungkin (emosi... emosi...). Dia pun menjawab Ya.

Tak ayal hatikupun langsung terbang dan rasa bahagia mengalir di dalam nadiku. Akhirnya aku mendapatkannya. Seseorang yang aku harapkan untuk kumiliki selama ini.



----------------------------------------------------------------------------

Selasa, 20 Januari 2009

Lagu yang Luar Biasa

COME WHAT MAY

Never knew I could feel like this
Like I've never seen the sky before
I want to vanish inside your kiss
Every day i'm loving you more than this
Listen to my heart, can you hear it sings
Telling me to give you everything
Seasons may change, winter to spring
But I love you until the end of time

Chorus:
Come what may
Come what may
I will love you until my dying day

Suddenly the world seems such a perfect place
Suddenly it moves with such a perfect grace
Suddenly my life doesn't seem such a waste
It all revolves around you
And there's no mountain too high
No river too wide
Sing out this song I'll be there by your side
Storm clouds may gather
And stars may collide
But I love you until the end of time

Chorus

Oh, come what may, come what may
I will love you, I will love you
Suddenly the world seems such a perfect place

Chorus

[
Nicole Kidman and Ewan McGregor]

=======================================

Saya memperoleh lagu ini lewat email dari seorang sahabat yang exchange ke Amerika.
Katanya lagu ini bagus, lalu saya memutuskan untuk mendownload lagu ini...
Ternyata lagu ini memang luar biasa. Kata-katanya sangat menyentuh, dan iramanya seakan membawa suasana yang diceritakan lewat lirik-liriknya...

Buat Nia yang udah ngirimin lagu ini: "thanks banget Chu, aku suka banget lagunya ^^"

Saya sertakan link buat download lagu ini melalui 4shared.com...
Enjoy ^^
http://www.4shared.com/file/51966919/5d5fce7b/Moulin_Rouge_-_Come_What_May.html?s=1

Teks Lengkap Pidato Obama dalam Pelantikannya (thanks buat Anthony Nirwana buat info ini ^^)

My fellow citizens,

I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.

Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because we the people have remained faithful to the ideals of our forebears, and true to our founding documents.

So it has been. So it must be with this generation of Americans.

That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet.

These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land — a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.

Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America — they will be met.

On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.

On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn out dogmas, that for far too long have strangled our politics.

We remain a young nation, but in the words of Scripture, the time has come to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.

In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of shortcuts or settling for less. It has not been the path for the faint-hearted — for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things — some celebrated but more often men and women obscure in their labor, who have carried us up the long, rugged path towards prosperity and freedom.

For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life.

For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.

For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sanh.

Time and again these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.

This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions — that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.

For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act — not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. All this we will do.

Now, there are some who question the scale of our ambitions — who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.

What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them — that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works — whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. Those of us who manage the public's dollars will be held to account — to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day — because only then can we restore the vital trust between a people and their government.

Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control — and that a nation cannot prosper long when it favors only the prosperous. The success of our economy has always depended not just on the size of our gross domestic product, but on the reach of our prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart — not out of charity, but because it is the surest route to our common good.

As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our founding fathers ... our found fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the world, and we will not give them up for expedience's sake. And so to all the other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: know that America is a friend of each nation and every man, woman, and child who seeks a future of peace and dignity, and that we are ready to lead once more.

Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.

We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort — even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.

For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus — and non-believers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.

To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society's ills on the West — know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.

To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to the suffering outside our borders; nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.

As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment — a moment that will define a generation — it is precisely this spirit that must inhabit us all.

For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter's courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to nurture a child, that finally decides our fate.

Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends — hard work and honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism — these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility — a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation, and the world, duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.

This is the price and the promise of citizenship.

This is the source of our confidence — the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.

This is the meaning of our liberty and our creed — why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent Mall, and why a man whose father less than sixty years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.

So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:

"Let it be told to the future world ... that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive...that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet (it)."

America, in the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children's children that when we were tested we refused to let this journey end, that we did not turn back nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations.

Thank you. God bless you. And God bless the United States of America.

Obama's Inauguration -- kata-katanya yang membuatku tersentuh

Sekitar dua setengah juta warga Amerika berkumpul di U. S. Capitol, Washington D. C. untuk menyaksikan inaugurasi dari presiden ke-44 mereka yang telah terpilih melalui pemilihan suara, Barack Obama. Ini merupakan sesuatu yang bersejarah, di mana pada pelantikan-pelantikan sebelumnya warga Amerika yang hadir tidak mencapai satu juta orang. Mereka datang dengan mengesampingkan harga tiket yang begitu mahal (sekitar US$ 8000 per orang menurut TransTV). Ini membuktikan betapa antusiasnya warga Amerika untuk menyambut angin baru dalam pemerintahan mereka. Obama dinilai sebagai orang yang bisa mengangkat keterpurukan yang sedang dialami oleh Amerika.

Semalam saya ikut menyaksikan acara di Washington ini, melalui televisi tentunya. Teriakan gegap-gempita terdengar begitu mobil Obama dan iring-iringannya melintas. Dalam pidatonya, Obama berbicara dengan lantang dan penuh wibawa. Dia menyadari dan menyatakan tentang adanya berbagai peristiwa pada negaranya, indikasi akan adanya sebuah krisis besar. Amerika akan menghadapi berbagai tantangan yang akan tersingkap seiring dengan jalannya waktu.

Sesuatu yang membuat tubuh saya bergetar adalah ketika Obama membahas tentang keberagaman negaranya -- negara yang terdiri dari berbagai agama (dan yang tak beragama), berbagai bahasa dan budaya, serta berbagai kampung halaman yang ada di dunia. Obama menilai itu sebagai sebuah kekuatan, dan mengajak seluruh Amerika untuk memainkan peranannya dalam membangun era perdamaian. Saat bagian ini diucapkan, nampak jutaan wajah dari berbagai suku yang turut hadir di U. S. Capitol memberikan senyum lebar kepada Obama. Beberapa cuplikan memperlihatkan genangan air mata di pelupuk mata mereka.

PENDAPAT SAYA:
Coba kita tilik negara kita. Masalah perbedaan selalu dijadikan acuan untuk saling menghancurkan. PADAHAL, saat saya SD dulu, guru-guru saya selalu mengajarkan untuk menghargai adanya perbedaan. Mereka menerangkan tentang baiknya perbedaan dan saya melihat itu sebagai suatu yang luar biasa. Namun ketika saya beranjak dewasa dan melihat kenyataan yang terjadi, semuanya berubah. Yang saya saksikan adalah maraknya paham-paham yang merusak bangsa. Rasisme, Fanatisme, serta banyak paham-paham lain yang tidak seharusnya ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pfuhh!!

Oi, saudara-saudara sebangsa! Kita tuh hidup bersama! Jangan donk mementingkan kepentingan pribadi dan suatu kelompok tertentu. Enak kan kalo kita damai?? Gak ada bom-bom'an yang mengatasnamakan suatu kelompok tertentu, gak ada penganiayaan yang menimpa suatu kelompok minoritas, gak ada diskriminasi dalam berbagai bidang. Semuanya layak mendapatkan yang seimbang.

Rasisme dan Fanatisme marak sekali kita temui di lembaga-lembaga pendidikan. Tiap-tiap orang yang menganut dua paham ini selalu menganggap bahwa dirinya, atau kelompok yang dianutnya adalah yang paling benar. Oi, gak ada yang paling benar!! Semuanya tuh relatif, TAPI YANG PASTI, tiap-tiap pribadi kita tuh ngerti kalau kita tuh sebenarnya punya kepentingan bersama, dan kita seharusnya mencapai kepentingan itu bersama-sama. Kesampingkan paham-paham yang mementingkan kepentingan sekelompok orang.

Bawalah negara kita ini menjadi negara yang beradab. Negara yang makmur dan seluruh rakyatnya hidup dalam persatuan dan kebersamaan.
SATUKAN TUJUAN KITA... UNTUK INDONESIA KITA BERSAMA...


PS:
@ United States: selamat buat dilantiknya presiden Obama... semoga negara kalian akan lebih berkembang dan mencapai misi kalian, yaitu perdamaian dunia... saya dukung misi itu sepenuhnya ^^
@ Indonesia: bisa nggak kita jadi seperti Amerika yang sekarang dipimpin oleh Obama??